Kamis, 01 Mei 2008

Jenis Paragraf

Jenis paragraf

Beberapa penulis seperti Sabarti Akhadiah dan kawan-kawan, Gorys Keraf, Soedjito, dan lain-lain membagi paragraf menjadi tiga jenis. Criteria yang mereka gunakan adalah sifat dan tujuan paragraf tersebut. Namun karena pebicaraan tentang letak kalimat utama juga memberikan nama tersendiri bagi setiap paragraf, penulis cenderung menjadikan topik letak kalimat utama sebagai salah satu penjenisan paragraf. Berdasarkan hal tersebut, jenis paragraf dibedakan sebagai berikut.

1. Jenis Paragraf Berdasarkan Sifat dan Tujuannya

Keraf (1980:63-66) memberikan penjelasan tentang jenis paragraf berdasarkan sifat dan tujuannya sebagai berikut.

(1) Paragraf Pembuka

Tiap jenis karangan akan mempunyai paragraf yang membuka atau menghantar karangan itu, atau menghantar pokok pikiran dalam bagian karangan itu. Sebab itu sifat dari paragraf semacam itu harus menarik minat dan perhatin pembaca, serta sanggup menyiapkan pikiran pembaca kepada apa yag sedang diuraikan. Paragraf yang pendek jauh lebih baik, karena paragraf-paragraf yang panjang hanya akan meimbulkan kebosanan pembaca.

(2) Paragraf Penghubung

Yang dimaksud dengan paragraf penghubung adalah semua paragraf yang terdapat di antara paragraf pembuka dan paragraf penutup.

Inti persoalan yang akan dikemukakan penulisan terdapat dalam paragraf-paragraf ini. Sebab itu dalam membentuk paragraf-paragraf prnghubung harus diperhatikan agar hubungan antara satu paragraf dengan paragraf yang lainnya itu teratur dan disusun secara logis.

Sifat paragraf-paragraf penghubung bergantung pola dari jenis karangannya. Dalam karangan-karangan yang bersifat deskriptif, naratif, eksposisis, paragraf-paragraf itu harus disusun berasarkan suatu perkembangan yang logis. Bila uraian itu mengandung perntagan pendapat, maka beberapa paragraf disiapkan sebagai dasar atau landasan untuk kemudian melangkah kepada paragraf-paragraf yang menekankan pendapat pengarang.

(3) Paragraf Penutup

Paragraf penutup adalah paragraf yang dimaksudkan untuk mengakhiri karangan atau bagian karangan. Dengan kata lain paragraf ini mengandung kesimpulan pendapat dari apa yang telah diuraikan dalam paragraf-paragraf penghubung.

Apapun yang menjadi topik atau tema dari sebuah karangan haruslah teteap diperhatikan agar paragraf penutup tidak terlalu panjang, tetapi juga tidak berarti terlalu pendek. Hal yang paling esensial adalah bahwa paragraf itu harus merupakan suatu kesimpulan yang bulat atau betul-betul mengakhiri uraian itu serta dapat menimbulkan banyak kesan kepada pembacanya.

2. Jenis Paragraf Berdasarkan Letak Kalimat Utama

Letak kalimat utama juga turut menentukan jenis paragraf, dari dasar tersebut penulis menetapkan letak kalimat utama dalam paragraf sebagai salah satu criteria penjenisan paragraf. Penjenisan paragraf berdasarkan letak kalimat utama ini berpijak pada pendapat Sirai, dan kawan-kawan(1985:70-71) yang mengemukakan empat cara meletakkan kalimat utama dalam paragraf.

(1) Paragraf Deduktif

Paragraf dimulai dengan mengemukakan persoalan pokok atau kalimat utama. Kemudian diikuti dengan kalimat-kalimat penjelas yang berfungsi menjelaskan kalimat utama. Paragraf ini biasanya dikembangkan dengan metode berpikir deduktif, dari yang umum ke yang khusus.

Dengan cara menempatkan gagasan pokok pada awal paragraf, ini akan memungkinkan gagasan pokok tersebut mendapatkan penekanan yang wajar. Paragraf semacam ini biasa disebut dengan paragraf deduktif, yaitu kalimat utama terletak di awal paragraf.

(2) Paragraf Induktif

Paragraf ini dimulai dengan mengemukakan penjelasan-enjelasan atau perincian-perincian, kemudian ditutup dengan kalimat utama. Paragraf ini dikembangkan dengan metode berpikir induktif, dari hal-hal yang khusus ke hal yang umum.

(3) Paragraf Gabungan atau Campuran

Pada paragraf ini kalimat topik ditempatkan pada bagian awal dan akhir paragraf. Dalam hal ini kalimat terakhir berisi pengulangan dan penegasan kalimat pertama. Pengulangan ini dimaksudkan untuk lebih mempertegas ide pokok karena penulis merasa perlu untuk itu. Jadi pada dasarnya paragraf campuran ini tetap memiliki satu pikiran utama, bukan dua.. Contoh paragraf campuran seperti dikemukakan oleh Keraf (1989:73):

Sifat kodrati bahasa yang lain yang perlu dicatat di sini ialah bahwasanya tiap bahasa mempunyai sistem. Ungkapan yang khusus pula, masing-masing lepas terpisah dan tidak bergantung dari yang lain. Sistem ungkapan tiap bahasa dan sistem makna tiap bahasa dibatasi oleh kerangka alam pikiran bangsa yang memiliki bahasa itu kerangka pikiran yang saya sebut di atas. Oleh karena itu janganlah kecewa apabila bahasa Indonesia tidak membedakan jamak dan tunggal, tidak mengenal kata dalam sistem kata kerjanya, gugus fonem juga tertentu polanya, dan sebagainya. Bahasa Inggris tidak mengenal “unggah-ungguh”. Bahasa Zulu tidak mempunyai kata yang berarti “lembu”, tetapi ada kata yang berarti “lembu putih”, “lembu merah”, dan sebagainya. Secara teknis para linguis mengatakan bahwa tiap bahasa mempunyai sistem fonologi, sistem gramatikal, serta pola semantik yang khusus.

(4) Paragraf Tanpa Kalimat Utama

Paragraf ini tidak mempunyai kalimat utama, berarti pikiran utama tersebar di seluruh kalimat yang membangun paragraf tersebut. Bentuk ini biasa digunakan dalam karangan berbentuk narasi atau deskripsi. Contoh paragraf tanpa kalimat utama:

Enam puluh tahun yang lalu, pagi-pagi tanggal 30 Juni 1908, suatu benda cerah tidak dikenal melayang menyusur lengkungan langit sambil meninggalkan jejak kehitam-hitaman dengan disaksikan oleh paling sedikit seribu orang di pelbagai dusun Siberi Tengah. Jam menunjukkan pukul 7 waktu setempat. Penduduk desa Vanovara melihat benda itu menjadi bola api membentuk cendawan membubung tinggi ke angkasa, disusul ledakan dahsyat yang menggelegar bagaikan guntur dan terdengar sampai lebih dari 1000 km jauhnya.(Intisari, Feb.1996 dalam Keraf, 1980:74)

Sukar sekali untuk mencari sebuah kalimat topik dalam paragraf di atas, karena seluruh paragraf bersifat deskriptif atau naratif. Tidak ada kalimat yang lebih penting dari yang lain. Semuanya sama penting, dan bersama-sama membentuk kesatuan dari paragraf tersebut.

Paragraf tanpa kalimat utama disebut juga paragraf naratif atau paragraf deskriptif, yang merupakan salah satu jenis paragraf yang dibicarakan dalam penelitian ini.

Rabu, 30 April 2008

Syarat Pembentukan Paragraf

Syarat Pembentukan Paragraf

Suatu paragraf dianggap bermutu dan efektif mengkomunikasikan gagasan yang didukungnya apabila paragraf itu lengkap, artinya mngandung pikiran utama dan pikiran-pikiran penjelas. Di samping itu sama halnya dengan kalimat, paragraf harus memenuhi persyaratan tertentu.(Keraf, 1980:67) Adapun syarat-syarat tersebut antara lain.

(1) Kesatuan (Unity)

Yang dimaksud dengan kesatuan (unity) adalah bahwa paragraf tersebut harus memperlihatkan dengan jelas suatu maksud atau sebuah tema tertentu. Kesatuan di sini tidak boleh diartikan bahwa saja hanya memuat satu hal saja. Sebuah alinea yang mempunyai kesatuan bisa saja mengandung beberapa hal atau beberapa perincian, tetapi semua unsur tadi haruslah bersama-sama digerakkan untuk menunjang maksud tunggal. Maksud tungggal itulah yang ingin disampaikan penulis dalam alinea itu (Keraf, 1980:67).

Jadi kesatuan atau unity di sini bukan berarti satu atau singkat kalimatnya, melainkan berarti kalimat-kalimat yang ada dalam paragraf tersebut menyatu untuk mendukung pikiran utama sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh. Contoh paragraf yang memenuhi persyaratan kesatuan.

Masalah mahasiswa di Indonesia umum sekali. Mereka kebanyakan sulit untuk sepenuhnya memusatkan perhatian pada studi mereka. Kebanyakan dari mereka adalah pemuda-pemuda dari keluarga biasa yang kurang mampu. Para mahasiswa itu pun mencari pekerjaan. Oleh karena itu selama belajar mereka kadang-kadang terganggu oleh keadaan ekonomi.

Apabila paragraf di atas kita analisis, akan kita temukan.

Pikiran utama : masalah umum dalam dunia mahasiswa

Pikiran penjelas : sulit memusatkan perhatian

berasal dari keluarga biasa

terganggu oleh ekonomi

Unsur-unsur penunjang pada paragraf di atas benar-benar mendukung gagasan utama. Dengan perkataan lain, unsur-unsur penunjang paragraf tersebut membentuk eksatuan ide (unity).

(2) Kepaduan (Koherensi)

Syarat kedua yang harus dipenuhi sebuah paragraf adalah bahwa paragraf tersebut harus mengandung koherensi atau kepaduan yang baik. Kepaduan yang baik itu terjadi apabila hubungan timbal balik antara kalimat-kalimat yang membina paragraf tersebut, baik, wajar, dan mudah dipahami tanpa kesulitan. Pembaca dengan mudah mengikuti jalan pikiran penulis, tanpa merasa bahwa ada sesuatu yang menghambat atau semacam jurang yang memisahkan sebuah kalimat dari kalimat lainnya, tidak terasa loncatan-loncatan pikiran yang membingungkan (Keraf, 1980:75).

Kepaduan bergantung dari penyusunan detil-detil dan gagasan-gagasan sekian macam sehingga pembaca dapat melihat dengan mudah hubungan antar bgaian-bagian tersebut. Jika sebuah paragraf tidak memliki kepaduan, maka pembaca seolah-olah hanya menghadapi suatu kelompok kalimat yang masing-masing berdiri lepas dari yang lain, masing-masing dengan gagasannya sendiri, bukan suatu uraian yang integral.

Pendeknya sebuah paragraf ang tidak memiliki kepaduan yang baik, akan menghadapkan pembaca dengn loncatan-loncatan pikiran yang membingungkan, menghadapkan pembaca dengan urutan waktu dan fakta yang tidak teratur, atau pengembangan gagasan utamanya dengan perincian yang tidak logis dan tidak lagi berorientasi kepada pokok uatama tadi.

Dengan demikian kalimat-kalimat dalam paragraf bukanlah kalimat-kalimat yang dapat berdiri sendiri. Kalimat-kalimat tersebut harus mempunyai hubungan timbal balik, artinya kalimat pertama berhubungan dengan kalimat kedua, kalimat kedua berhubungan dengan kalimat ketiga, demikian seterusnya. Koherensi suatu paragraf dapat ditunjukkan oleh.

a. Pengulangan kata/kelompok kata kunci atau disebut repetisi

b. Penggantian kata/kelompok kata atau subtitusi

c. Pengulangan kata/kelompok kata atau transisi

d. Hubungan implisit atau penghilangan kata/kelompok kata tertentu atau ellipsis

Berikut ini dikemukakan kata-kata atau frase transisi, seperti dikemukakan oleh Keraf (1980:80-81).

a. Hubungan yang menyatakan tambah terhadap sesuatu yang telah disebut, misalnya: lebih lagi, tambahan, lagi pula, selanjutnya, di damping itu, akhirnya, dan sebagainya.

b. Hubungan yang menyatakan pertentangan, misalnya: tetapi, namun, bagaimanapun juga, sebaliknya, walaupun, demikian, biarpun, meskipun.

c. Hubungan yang menyatakan perbandingan, misalnya: sama halnya, seperti, dalam hal yang sama, dalam hal yang demikian, sebagaimana.

d. Hubungan yang menyatakan akibat, misalnya; sebab itu, oleh sebab itu, oleh karena itu, jadi, maka, akibatnya, karena itu.

e. Hubungan yang menyatakan tujuan, misalnya: untuk maksud itu, untuk maksud tertentu, untuk maksud tersebut, supaya.

f. Hubungan yang menyatakan singkatan, misalnya contoh intensifikasi: singkatnya, ringkasnya, secara singkat, pendeknya, pada umumnya, dengan kata lain, yakni, yaitu, sesungguhnya.

g. Hubungan yang menyatkn waktu, misalnya: sementara itu, segera, beberapa saat kemudian, sesudah, kemudian.

h. Hubungan yang menyatakan tempat, misalnya: di sini, di situ, dekat, di seberang, berdekatan dengan, berdampingan dengan.

Contoh paragraf menggunakan transisi yang benar.

Perkuliahan bahasa Indonesia sering dapat membosankan, sehingga tidak dapat perhatian sama sekali dari mahasiswa. Hal ini disebabkan bahwa kuliah yang disajikan dosen sebenarnya merupakan masalah yang sudah diketahui mahasiswa, atau merupakan masalah yang tidak diperlukan mahasiswa. Di samping itu mahasiswa yang sudah mempelajari bahasa Indonesia sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar atau sekurang-kurangnya sudah mempelajari bahasa Indonesia selama dua belas tahun, merasa sudah mampu menggunakan bahasa Indonesia. Akibatnya memilih atau menentukan bahan kuliah yang akan diberikan kepada mahasiswa merupakan kesulitan tersendiri bagi para pengajar.

Perhatikan kata atau frase transisi yang digunakan (digarisbawahi) menatakan hubungan kalimat. Tanpa menggunakan frase transisi ini tulisan di atas akan terpotong-potong dan hubungan antar kalimat tidak jelas.

(3) Kejelasan

Suatu paragraf dikatakan lengkap, apabila kalimat topik ditunjang oelh sejumlah kalimat penjelas. Tentang kalimat-kalimat penjelas ini sudah dibicarakan di bagian awal tulisan ini, yaitu pada unsur-unsur paragraf. Kalimat-kalimt penjelas penunjang utama atau penunjang kedua harus benar-benar menjelaskan pikiran utama. Cara mengembangkan pikiran utama menjadi paragraf serta hubungan antar kalimat utama dengan kalimat penjelas (detil-detil penunjang) dapat dilihat dari urutan rinciannya. Rincian itu dapat diurut secara urutan waktu (kronologis), urutan logis, terdiri atas sebab-akibat, akibat-sebab, umum-khusus, khusus-umum, urutan ruang (spasial), urutan proses, contoh-contoh dan dnegan detail fakta.

Sabtu, 26 April 2008

Unsur Paragraf

Unsur Paragraf

Paragraf sebenarnya merupakan sebuah unit pikiran dengan menunjukkan satu ide, dan ide ini harus bisa dikomunikasikan secara jelas dan singkat, yaitu mengandung detil-detil selengkapnya, misalnya alasan-alasan, ilustrasi-ilustrasi, fakta-fakta, dan lain-lain. Pengembangan ide pokok itu harus dikendalikan dengan apa yang dinamakan controlling idea. Ide yang dikomunikasikan dinamakan pikiran utama, ide pokok, ide utama, atau pikiran pokok. Sedangkan detil-detil penunjang paragraf dinamakan pikiran-pikiran penunjang.

Pikiran utama dan pikiran penjelas dikembangkan lebih lanjut dalam kalimat-kalimat. Kalimat yang mengandung pikiran utama dinamakan kalimat utama, atau kalimat topik (topic sentence). Kalimat-kalimat yang mengandung pikiran penjelas dinamakan kalimat penjelas. Jadi dapat dikatakan bahwa paragraf dibentuk oleh dua unsur, yaitu pikiran utama dan pikiran penjelas.

Paragraf yang baik sebenarnya terdiri atas beberapa kalimat, yaitu sebuah kalimat utama dan beberapa kalimat penjelas dan kalimat penunjang. Kalimat-kalimat penunjang itu dinamakan supporting statements. Supporting statements dibedakan atas dua, yaitu primary supporting dan secondary supporting. Secara skematis bagan paragraf secara umum dan sederhana adalah sebagai berikut.

(1) Kalimat topik atau kalimat utama, ditunjang oleh

(2) Primary supporting, yang didukung oleh

(3) Secondary supporting.

Primary supporting terdiri atas pernyataan-pernyataan yang memperjelas kalimat topik. Secondary supporting terdiri atas pernyataan-pernyataan berwujud kalimat-kalimat yang memberikan beberapa detil penunjang tentang primary supporting. (Fernandez, 1991:9)

Paragraf yang baik bisa digunakan untuk berkomunikasi secara jelas dan padat, harus merupakan kesatuan. Berikut dikemukakan beberapa saran yang dapat membantu kita dalam hal menyusun paragraf yang baik.

(1) Pastikan bahwa paragraf kita mempunyai ide pokok yang kita tuangkan pada kalimat utama. Tempatkan kalimat utama pada awal atau akhir paragraf, atau pada bagian tengah paragraf jika kita terbiasa menggunakan metode demikian.

(2) Fokuskan secara jelas detil-detil penunjang berupa primary supporting pada ide pokok paragraf.

(3) Apabila kita merasa bahwa primary supporting saja belum cukup menunjang ide pokok, tambahkan secondary supporting yang memperjelas detil-detil primary supporting.

(4) Jelaskan agar kita tidak menambahkan tertiery supporting sebagai pendukung secondary supporting. Hal ini akan menyebabkan paragraf kita menjadi kabur. Sebaiknya ide baru itu ditempatkan pada paragraf berikutnya.

Ciri Paragraf

Ciri Paragraf

Tarigan (1986:11) mengemukakan ciri-ciri paragraf sebagai berikut.

(1) Setiap paragraf mengandung makna, pesan, pikiran, atau ide pokok keseluruhan karangan.

(2) Umumnya paragraf dibangun oleh sejumlah kalimat.

(3) Paragraf adalah satu kesatuan ekspresi pikiran.

(1) Paragraf adalah kesatuan yang koheren dan padat.

(2) Kalimat-kalimat dalam paragraf tersusun secara logis dan sistematis.

Berdasarkan ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa paragraf adalah seperangkat kalimat yang tersusun logis dan sistematis yang merupakan satu kesatuan ekspresi pikiran yang relevan dan mendukung pikiran pokok yang tersirat dalam keseluruhan karangan.

Dengan demikian, tidak ada sebuah kalimat pun dalam paragraf yang tidak membicarakan ide pokok, kalimat seperti itu disebut kalimat sumbang. Jika ada kalimat sumbang dalam sebuah paragraf maka kalimat itu harus dikeluarkan dari paragraf, karena kalimat itu tidak diperlukan dan hanya akan mengganggu kejelasan makna dalam paragraf.

Jumat, 25 April 2008

Pengertian Paragraf

Pengertian Paragraf

Untuk memahami pengertian paragraf sebagai satuan yang lebih kecil dari wacana, lebih dulu baca dan perhatikanlah kutipan berikut ini!

Kutipan 1

(1) Bahasa adalah unsur yang berpadu dengan unsur-unsur lain di dalam jaringan kebudayaan. Pada waktu yang sama bahasa merupakan sarana pengungkapan nilai-nilai budaya, pikiran, dan nilai-nilai kehidupan kemasyarakatan. Oleh sebab itu, kebujaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebahasaan harus merupakan bagian yang integral dari kebijaksanaan nasional yang tegas di dalam bidang kebudayaan.

(2) Sehubungan dengan itu, mutu dan kemampuan bahasa indonesia sebagai sarana komunikasi keagamaan perlu juga ditingkatkan. Bahasa Indonesia harus dibina dan dikembangkan sedemikian rupa sehingga ia memiliki kesanggupan menyatakan isi pikiran dengan jelas, tegas, dan eksplisit konsep-konsep yang rumit dan abstrak serta hubungan antara konsep-konsep itu satu sama lain.

(3) Identitas kebangsaan Indonesia dimanifestasikan bukan saja oleh bahasa Indonesia melainkan juga oleh bahasa-bahasa daerah. Oleh sebab itu, pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.harus diimbangi dengan pembinaan dan pengembangan bahasa-bahasa daerah, sesuai dengan penjelasan Bab XV Pasal 36 Undang-undang Dasar 1945.

[Dikutip dari: Setengah Abad Bahasa Indonesia,

Yusuf Abdullah Puas, Edisi I, 1980, Halaman 55-56

(dalam buku Keterampilan Menulis Paragraf)]

Setiap baris pertama suatu paragraf diketik agak menjorok ke dalam lima ketukan dari marjin kiri dan selalu mulai dengan baris baru (ciri visual).

Setiap paragraf hanya berisi satu pikiran, gagasan atau tema (ciri ideal). Jika dalam satu paragraf terdapat dua tema, paragraf itu harus dipecah menjadi dua paragraf.

Terlibat bahwa kutipan di atas terbagi-bagi atas bagian-bagian (3 bagian) yang dimulai dengan baris baru dan ditulis agak menjorok ke dalam. Bagian-bagian tersebut terdiri atas kalimat-kalimat yang berhubung-hubungan secara utuh dan padu serta merupakan satu kesatuan pikiran. Itulah yang pada hakikatnya disebut paragraf. Jadi, paragraf ialah bagian-bagian karangan yang terdiri atas kalimat-kalimat berhubung-hubungan secara utuh dan padu serta merupakan satu kesatuan pikiran.

Soedjito (1986:3) mendefinisikan paragraf sebagai berikut: paragraph adalah bagian-bagian karangan yang terdiri atas kalimat-kalimat yang berhubung-hubungan secara utuh dan padu serta merupakan satu kesatuan pikiran. Keraf (1989:62) menggunakan istilah alinea dan memberikan definisinya sebagai berikut: Alinea tidak lain dari suatu kesatuan pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luas dari kalimat. Ia merupakan himpunan dari kalimat-kalimat yang bertalian dalam suatu rangkaian untuk membentuk suatu gagasan. Barnet (1974:6) mengatakan A paragraph is a group of closely related sentences arranged in a way that permits of central idea to be defined, developed, and clarified. Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa paragraf terdiri atas seperangkat kalimat yang berkaitan erat satu dengan yang lainnya, disusun menurut urutan tertentu, sehingga makna yang dikandungnya dapat dibatasi, dikembangkan, dan diperjelas.

Rabu, 23 April 2008

"TEST PACK"???

Dekonstruksi pada Novel Test Pack karya Ninit Yunita

Mengenai Komitmen dalam Pandangan Masyarakat

A. Pendahuluan

Dekonstruksi merupakan suatu kajian yang kontroversial, terutama bagi masyarakat dunia yang tidak beridealisme komunis. Padahal kajian ini sangat berpengaruh pada segi humaniora terutama pada kajian sastra. Dekonstruksi ialah pengembangan dari observasi yang dilakukan oleh Ferdinand de Saussure tentang hubungan antara penanda dan petanda (kata dan makna) yang bersifat arbitrer (Derrida dalam Sim, 2002: 59). Derrida kemudian menyusun puing-puing yang tertinggal dari bangunan teks, menghancurkannya kembali, menatanya lalu merombaknya kembali (Derrida dalam Al-Fayadl, 2005: 79). Pendapat dari Derrida tersebut memiliki arti bahwa dekonstruksi bukan hanya suatu hal yang hanya menghancurkan sesuatu seperti yang selama ini kita maknai tentang dekonstruksi, akan tetapi dekonstruksi juga berupaya untuk menata kembali apa yang telah dihancurkan.

Derrida dalam Ratna (2004: 222) mengemukakan bahwa teori dekonstruksi adalah penolakan terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Dekonstruksi merupakan pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang baku. Dengan kata lain, dekonstruksi adalah cara-cara pengurangan terhadap suatu intensitas konstruksi, yaitu gagasan, bangunan, dan susunan yang sudah baku, bahkan universal.

Argus (2002) mengemukakan dekonstruksi merupakan suatu metode analisis yang dikembangkan oleh Jacques Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi pasangan, sedemikian rupa, sehingga menciptakan satu permainan tanda tanpa akhir dan tanpa makna akhir.

Sasaran dari dekonstruksi ialah mempertimbangkan sejauh mana seorang pengarang mempergunakan pola-pola bahasa dan pemikiran untuk memberi bentuk kepada suatu visi tertentu (Luxemburg, 1986: 60).

Dekonstruksi adalah sebuah upaya saksama untuk menganalisis teks dengan mencoba mengungkapkan berbagai kemungkinan yang sebetulnya terkandung di dalamnya, termasuk yang tertindas atau terselubung, baik sengaja, sadar, atau tidak, dengan cara membongkarnya. Hal ini dilakukan dengan analisa tekstual yang ketat, menjajaki dan mencoba menemukan berbagai kandungan lanjut maknanya, termasuk beragam makna alternatif yang mungkin bisa dimunculkan darinya.

Sasaran dekonstruksi lebih lanjut adalah pada kecenderungan berpikir dalam model oposisi biner, seperti hidup atau mati, ada atau tiada, siang atau malam, laki-laki atau perempuan, dan seterusnya. Sesungguhnya, cara berpikir ini juga masih berkaitan, dan bahkan mendasari phallogosentrisme maupun metafisika, karena menuding pada rasional atau tak rasional, dan di pusat atau di luar pusat. Dalam hal ini, Derrida memprovokasi bagaimana seandainya dualisme ini sebenarnya sungguh tak mewakili realitas permasalahan, dan hanya sebuah tradisi panjang pemaksaan rasionalitas terhadap sejarah pemaknaan dan peradaban belaka.

Dekonstruksi dilakukan dengan cara memberikan perhatian terhadap gejala-gejala yang tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dst. Berbeda dengan teori strukturalisme, dalam analisis penokohan misalnya, strukturalisme selalu membicarakan tokoh utama, kesua, ketiga, dst. Dengan konsekuensi tokoh terakhir hanya berfungsi sama sekali. Dalam kritik sastra, yang penting bukan siapa yang berbicara, melainkan apa yang dibicarakan, yaitu karya itu sendiri.

B. Analisis Novel Test Pack karya Ninit Yunita

Dalam novel ini, pengarang yaitu Ninit Yunita ingin mengubah pandangan masyarakat yang umumnya mengutamakan kehadiran seorang anak dalam setiap pernikahan. Selama ini, setiap pasangan menikah karena menginginkan anak dari pernikahan mereka. Seakan-akan memiliki anak pasca pernikahan merupakan hal utama yang didamba-dambakan setiap pasangan suami-istri, dan anak seakan-akan merupakan bukti cinta atau buah cinta dari sang suami dan istri. Namun Ninit Yunita melalui novel Test Packnya ini ingin mengubah pandangan masyarakat mengenai hal tersebut.

Dalam novel Test Pack, melalui tokoh Arista Natadiningrat atau Tata dan Rahmat Natadiningrat, sang pengarang ingin mengubah pandangan masyarakat mengenai tujuan utama dalam pernikahan, serta betapa pentingnya komitmen dalam sebuah hubungan. Tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sempurna untuk menghasilkan anak atau meneruskan keturunan setelah menikah. Tidak semua pasangan bisa mempunyai anak setelah mereka menikah. Hal tersebut bisa dikarenakan kesalahan mereka sendiri yang kurang menjaga kesehatan, atau mungkin karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan makhluk-makhluk Allah yang lain, namun tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Sehingga tak sedikit pula pasangan yang belum juga dikaruniai anak setelah mereka menikah, bahkan setelah bertahun-tahun menikah.

Ninit Yunita dalam novelnya menceritakan tokoh Tata dan Rahmat sebagai suami istri yang telah 7 tahun menikah namun belum juga dikaruniai seorang anak. Hal tersebut terbukti melalui pernyataan Rahmat sebagai berikut.

Kami sudah menikah selama 7 tahun dan selama itu lah gue dan Tata melakukan intensifikasi penyerbukan. Berbagai cara sudah kami coba. Mulai dari mengonsumsi toge yang tidak wajar sampai bercinta berdasarkan shio. Namun sampai saat ini kami belum memperoleh anak. (Yunita, 2005: 19)

Kehadiran seorang anak memang selalu didambakan setiap pasangan setelah menikah, namun tidak semua pasangan diciptakan sempurna dan mampu memiliki anak, seperti pasangan Tata dan Rahmat. Segala cara telah mereka lakukan, terutama Tata yang sangat mendambakan anak setelah usianya menginjak 30 tahun.

Melalui tokoh Tata, Ninit mengungkapkan pendapatnya bahwa anak bukan hal utama dalam pernikahan. Pandangan masyarakat yang berkembang saat ini, ketika bertemu dengan teman lama atau kenalan lama, hal pertama yang sering ditanyakan adalah jumlah anak dipunyai saat ini, tampak dari percakapan berikut.

“Diaaan … hey, udah punya anak berapa sekarang?”

“Baru satu, Ris.”

“Belum nambah nih?” Perempuan cantik yang bernama Riska itu mencium pipi kanan dan kiri Dian.

(Yunita, 2005: 27)

“Anakmu sudah berapa, Ta?”

Tiba-tiba Riska mengarahkan pertanyaan yang super sensitif itu ke gua. Lutut gua lengsung terasa lemas. Nooo… kenapa sih harus pertanyaan itu?

“Belum punya, Ris …” Gua menggeleng pelan.

(Yunita, 2005: 28)

Di atas merupakan percakapan yang dilakukan Tata, Dian sahabat Tata, dan Riska sahabat Dian yang sudah lama tidak bertemu saat mengobrol santai. Dari percakapan tersebut tampak kesedihan dalam hati Tata, mengapa pertanyaan itu yang sering dilontarkan orang-orang saat pertama kali bertemu dengan teman lama. Padahal tidak semua manusia yang beruntung dapat memiliki anak setelah menikah, sama halnya seperti Tata yang belum juga punya anak. Kekecewaan Tata terungkap pula melalui pernyataannya berikut.

“Anakmu sudah berapa?”

Ya … itu pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Riska.

Bukan apa kabar.

Bukan berapa gelar yang berjajar di belakang namanya.

Or if she collects diamond or not.

Or if the bag is the real Prada or the fake one.

(Yunita, 2005: 30)

She didn’t ask me anything else but,

“Anakmu sudah berapa, Ta?”

(Yunita, 2005: 30)

Pertanyaan yang sama juga dilontarkan oleh Sinta Setiorini mantan pacar Rahmat kepada Rahmat, saat mereka bertemu di kantor Rahmat.

“Anak udah berapa, Mat?”

“Belum ada.”

“Serius?”

“Iya.”

(Yunita, 2005: 72)

Diceritakan dalam novel ini bahwa Tata dan Rahmat belum juga dikaruniai anak karena Rahmat infertil, sehingga secara biologis mereka berdua tidak akan bisa dikaruniai anak. Namun di akhir cerita dikisahkan bahwa komitmen dalam sebuah pernikahan adalah yang lebih penting. Banyak dicontohkan pasangan sempurna yang telah dikaruniai anak, tidak dapat menjaga cinta mereka dan belum berkomitmen bahwa dalam pernikahan sebuah pengertian dan kesetiaan adalah yang lebih penting, bukan semata-mata karena kehadiran anak. Sehingga banyak pernikahan yang ternoda walaupun anak telah menjadi buah cinta mereka.

Di sini, Tata dan Rahmat dikisahkan sebagai pasangan yang mampu dijadikan contoh. Tidak selamanya pasangan kita akan terus sama seperti yang kita harapkan, karena mereka juga manusia yang pasti memiliki kekurangan. Tidak selamanya pasangan kita akan terus cantik atau tampan, tetap terlihat muda sampai kapan pun, akan tetap pandai, tetap kaya, tetap baik, tetap mencintai kita. Namun komitmen telah membawa Tata dan Rahmat menjadi pasangan yang mampu mengatasi permasalahan pelik yang menimpa mereka berdua, yaitu bahwa secara biologis mereka tidak akan dikaruniai anak. Komitmen menjadi kekuatan yang akan terus mampu mempertahankan apa yang telah menjadi harapan mereka. Berikut kutipan pernyataan pendukung oleh tokoh Tata.

Orang sering mendasari cinta atas hal-hal yang dianggap indah.

Jarang dari mereka (dan mungkin kita sendiri) berpikir :

‘I love him because of the way he makes me feel’.

Then what happens if he stops making you feel that way?

….

Jarang ada yang mengatakan:

‘Saya sayang dia karena saya ingin sayang dia.’

Itulah komitmen. Komitmen adalah sumber kekuatan bukan sesuatu yang justru membuat orang takut untuk menghadapinya.

Komitmen adalah sumber kekuatan bagi seorang istri untuk pergi jauh melihat baik dan buruknya suami. Menerima dia ketika sedang tampan dan menerima juga manakala dia sedang menguap dengan jeleknya saat bangun pagi.

Komitmen adalah sumber kekuatan bagi seorang suami ketika mengetahui seorang wanita lain mengajaknya berselingkuh dan ia memilih pulang ke rumah untuk makan malam dengan istri dan berbagi kisah sambil tertawa.

(Yunita, 2005: 222-224)

Komitmen telah menjadi kekuatan cinta mereka. Dan melalui novel ini, Ninit Yunita ingin mengubah paradigma masyarakat bahwa dalam sebuah cinta khususnya pernikahan perlu didasari adanya komitmen yang nantinya akan mampu menjaga perjalanan cinta mereka. Sebab pernikahan tidak selalu indah seperti yang dibayangkan, sehingga komitmen diperlukan untuk menjaga sebuah pernikahan agar selalu terasa indah.

Dan komitmen juga yang membawa gua untuk tetap berada di sisi Kakang. Tetap menjadi istrinya dengan menyadari bahwa pernikahan bukan hanya untuk memiliki anak. Pasangan lain mungkin dikaruniai sesuatu yang sempurna dengan memiliki anak. But in fact, tanpa memiliki anak tidak menghalangi gua untuk bahagia bersama Kakang.

(Yunita, 2005: 224)

Ninit Yunita dalam novel Test Pack mengungkapkan isi hatinya bahwa cinta saja tanpa dilandasi komitmen tidak akan berkekuatan. Sebab cinta manusia tidak akan kekal, banyak sekali faktor yang melandasi seseorang merasakan cinta. Pandangan masyarakat tersebut ingin diubah oleh Ninit melalui novel ini, yang dikisahkan oleh Tata dan Rahmat. Pentingnya komitmen dalam sebuah hubungan akan mampu menjaga keutuhan cinta, dengan saling menghargai satu sama lain, serta saling menerima kekurangan masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta : LKiS.

Argus, Firmansyah. 2002. Dekonstruksi Spiritualisme. Jakarta : Jala Sutra.

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : Gramedia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sim, Stuart. 2002. Derrida dan Akhir Sejarah, penerjemah Sigit Djatmiko. Yogyakarta : Penerbit Jendela.

Selasa, 22 April 2008

"Pasien"-nya Djenar Maesa Ayu

FEMINISME DALAM CERPEN PASIEN

KARYA DJENAR MAESA AYU

A. LATAR BELAKANG

Karya sastra yang baik adalah karya sastra yang mampu menguraikan beragam pengalaman manusia baik dalam dimensi perorangan, maupun dimensi sosial (Suwondo dalam Kurniawan, 2006: 1). Lebih lanjut Darma dalam Kurniawan (2006: 1) mengatakan bahwa karya sastra yang pantas menjadi objek studi sastra adalah karya yang baik, dalam arti bahwa karya tersebut inspiratif, sublim, menyodorkan pemikiran, membuka kesadaran, menambah wawasan dan mempunyai daya gugah yang tinggi.

Karya sastra hadir untuk menampilkan fenomena kehidupan termasuk ketimpangan sosial, dan berbagai permasalahan kehidupan yang lain. Dunia wanita yang termasuk di dalamnya, mereaksi peristiwa-peristiwa luar dengan wujud yang lebih leluasa. Sehingga gambaran diri wanita, pemikiran, perilaku, dan perasaannya dapat tersirat melalui karya sastra.

Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan wanita selalu menarik dalam kerangka kebudayaan kontemporer, karena kebangkitannya berkaitan dengan masalah-masalah kemasyarakatan, sejak kehadirannya di rumah tangga hingga ke masalah sosiokultural secara keseluruhan (Ratna, 2004: 189). Dunia wanita memang menarik untuk diangkat dalam karya sastra. Banyak pengarang yang mengangkat tema tentang wanita, karena dunia wanita memang menarik untuk dibicarakan. Wanita adalah sosok yang mengandung dua sisi. Di satu sisi, wanita adalah keindahan. Pesonanya dapat membuat kaum laki-laki takluk dan tergila-gila. Namun di sisi lain, wanita juga dianggap lemah. Kelemahan ini cenderung dijadikan alasan oleh lelaki untuk mengeksploitasi wanita.

Perempuan sering dianggap lebih rendah derajatnya dari kaum lelaki. Sikapnya yang lebih pasif, lemah lembut, dan sebagainya seringdianalogikan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah. Dalam masyarakat kita, keberadaan pelacur lebih ditentang dan dianggap sampah masyarakat bila dibanding dengan keberadaan para gigolo, padahal mereka adalah komunitas yang sama-sama melacur (murahan). Hal tersebut mengisyaratkan bahwa perempuan berderajat lebih rendah dibanding laki-laki. Serta eksistensi perempuan lebih banyak didominasi oleh kekuatan budaya, adat istiadat, dan aturan-aturan yang berlaku.

Perempuan dalam budaya patriarkhi menempati posisi inferior, sedangkan laki-laki di tempat superior. Perempuan lebih umum dianggap sebagai objek dibandingkan sebagai subjek. Dalam karya sastra, bentuk diskriminasi perempuan dapat berupa pornografi dan kekerasan terhadap perempuan.

Cerita pendek berjudul Pasien karya Djenar Maesa Ayu merupakan salah satu cerpen bertemakan perempuan. Di sini digambarkan perempuan sebagai sosok yang lemah, sekaligus perempuan sebagai subjek yang mengendalikan laki-laki melalui kebiasaan tokoh yang suka berganti-ganti teman tidur sebagai bentuk pelampiasan amarah. Perempuan dalam cerpen ini diperankan oleh tokoh Saya dan Ia, yang pada akhir cerita digambarkan bahwa mereka berdua pada dasarnya adalah satu orang yang sama. Awalnya, tampak seakan-akan dalam cerpen ini terdapat dua tokoh perempuan, akan tetapi ternyata hanya satu orang yang sedang bercermin, yaitu tokoh Saya yang menceritakan tokoh Ia kepada pembaca dengan memandang cermin yang memantulkan bayangan tokoh Saya.

Cerpen ini mengisahkan tentang seorang psikiater yang memiliki masa lalu yang buruk akibat pemerkosaan terhadap dirinya. Sang pemerkosa dapat secara bebas berkeliaran dan menikmati udara segar tanpa beban dan rasa bersalah. Sedangkan korbannya yang tak lain dalah dirinya sendiri (yaitu tokoh Saya atau Ia) harus menanggung beban atas kejadian traumatis yang menimpanya selama seumur hidup.

Tokoh perempuan dalam cerpen Pasien ini sudah memiliki ide-ide feminis. Hal tersebut didukung oleh sang pengarang yang juga tokoh feminis, yang melalui karya-karyanya selalu memunculkan sosok perempuan sebagai penggerak, perempuan sebagai subjek yang pantas disetarakan kedudukannya dengan laki-laki. Tokoh Saya atau Ia mempertanyakan tentang paradigma di masyarakat, korban pemerkosaan yang umumnya adalah perempuan, akan selamanya menjadi korban dan dijdikan bulan-bulanan oleh masyarakat. Namun mengapa sang pemerkosa yang notabenenya adalah seseorang yang bermoral bejat, serta pada umumnya pemerkosa adalah seorang laki-laki, dapat menikmati udara segar dengan nyaman (?). Melalui ide-ide feminis yang diusung dalam cerpen ini, penulis ingin mengkaji bagaimana konflik yang dihadapi oleh tokoh perempuan dalam cerpen ini, dan bagaimana mereka menyikapinya, sehingga cerpen ini menarik untuk dikaji.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di depan, dapat disimpulkan rumusan masalah yaitu.

1. Bagaimana unsur feminisme dalam cerpen Pasien karya Djenar Maesa Ayu?

C. TEORI FEMINISME

Seperti diketahui, sejak berabad-abad, perempuan berada di bawah dominasi laki-laki, perempuan sebagai pelengkap, perempuan sebagai makhluk kelas dua. Secara biologis jelas perempuan berbeda dengan kaum laki-laki, perempuan lebih lemah, sebaliknya, laki-laki lebih kuat. Meskipun demikian, perbedaan biologis mestinya tidak dengan sendirinya, tidak secara alamiah membedakan posisi dan kondisinya dalam masyarakat (Ratna, 2004: 187).

Feminis, khususnya masalah-masalah mengenai wanita, pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi, gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik dan ekonomi, maupun gerakan sosial budaya pada umumnya. Kondisi-kondisi fisik wanita yang lebih lemah secara alamiah hendaknya tidak digunakan sebagai alasan untuk menempatkan kaum wanita dalam posisinya yang lebih rendah.

Dalam Ratna (2004: 191) mengatakan bahwa pekerjaan wanita selalu dikaitkan dengan memelihara, pria selalu dikaitkan dengan bekerja. Pria memiliki kekuatan untuk menaklukkan, mengadakan ekspansi, dan bersifat agresif. Perbedaan fisik yang diterima sejak lahir kemudian diperkuat dengan hegemoni struktur kebudayaan, adat istiadat, tradisi, pendidikan, dan sebagainya. Sehingga memunculkan feminisme yang menuntut kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Dalam Ratna (2004: 188) menyatakan bahwa kaum perempuan tidak menuntut persamaan biologis, sebab perbedaan tersebut merupakan hakikat. Kaum perempuan melalui gerakan dan teori feminis menuntut agar kesadaran kultural yang selalu memarginalkan perempuan dapat diubah sehingga keseimbangan yang terjadi adalah keseimbangan yang dinamis.

Menurut Showalter dalam Widayati (2004: 7) dalam ilmu sastra, feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang mengarahkan fokus analisis kepada wanita. Jika selama ini dianggap yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra Barat ialah laki-laki, maka kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca wanita membawa persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya.

Djajanegara dalam Widayati (2004: 8) mengatakan bahwa para pengkritik sastra feminis beranggapan bahwa pengkritik dan pembaca laki-laki tidak mempu menafsirkan dan menilai dengan tepat tulisan wanita, terutama karena mereka pada umumnya tidak mengenal tulisan-tulisan wanita.

Dengan didasarkan pada realita di atas, hal tersebut memicu munculnya beberapa ragam kritik sastra. Kritik sastra feminis-ideologis ini merupakan cara menafsirkan suatu teks, yaitu satu di antara banyak cara yang dapat diterapkan untuk teks yang rumit sekalipun. Cara ini bukan saja memperkaya wawasan para wanita pembaca, tetapi juga membebaskan cara berpikir mereka (Djajanegara dalam Widayati, 2004: 8).

Kritik sastra feminis-ginokritik mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah penulis-penulis wanita merupakan kelompok khusus, dan apa perbedaan antara tulisan wanita dan tulisan laki-laki (Dajajanegara dalam Widayati, 2004: 8).

Kritik sastra feminis-sosialis atau kritik sastra feminis-Marxis meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis ini mencoba mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas (Dajajanegara dalam Widayati, 2004: 8).

Kritik sastra feminis-psikoanalisis cenderung diterapkan pada tulisan-tulisan wanita yang menampilkan tokoh-tokoh wanita, karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh wanita yang dibacanya (Djajanegara dalam Widayati, 2004: 8-9).

Kritik sastra feminis-ras atau kritik sastra feminis-etnik ingin membuktikan kebenaran sekelompok penulis feminis etnik beserta karya-karyanya (Djajanegara dalam Widayati, 2004: 9).

Dari keenam ragam kritik sastra feminis tersebut, penulis merasa tepat jika menggunakan ragam kritik sastra feminis-sosialis atau kritik sastra feminis-Marxis sebagai acuan dalam menganalisis. Sebab kritik sastra tersebut merupakan ragam yang mengungkapkan bahwa kaum wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.

D. ANALISIS CERPEN

“Feminisme Dalam Cerpen Pasien Karya Djenar Maesa Ayu”

Cerpen Pasien yang ditulis oleh Djenar Maesa Ayu menceritakan tentang feminisme tokoh Saya. Penceritaan tokoh Saya menjadi kuat karena ia ditempatkan sebagai subjek yang bercerita. Cerpen ini merupakan cerita tentang wanita oleh wanita. Konflik dalam cerita ini berada di akhir. Sebab di akhir ceritalah, kebenaran yang sekaligus menjadi puncak cerita yang menarik bagi pembaca dimunculkan. Sehingga akan selalu berkesan di hati pembaca bahwa sang korban adalah tak lain dirinya sendiri yang sedang bercerita kepada pembaca.

Cerpen Pasien merupakan cerpen yang mengisahkan penderitaan seorang wanita yang kembali mengalami keterpurukan, kekalahan akibat kejadian traumatis yang menimpanya semasa kanak-kanak. Tokoh wanita yang diperankan oleh Saya adalah korban pemerkosaan. Kini ia bekerja sebagai seorang psikiater, namun tetap saja belum dapat menghilangkan bayang-bayang ketakutannya akibat kejadian buruk tersebut.

Tokoh wanita dalam cerpen ini ialah Saya dan Ia. Di awal cerita, mereka berdua diceritakan seakan-akan adalah dua orang yang berbeda. Saya sebagai seorang psikiater menerima pasien yaitu Ia yang telah menjadi korban pemerkosaan di usianya yang masih belia, yaitu sembilan tahun. Sebagai seorang psikiater, tentunya Saya adalah seorang pendengar yang baik, yang siap membantu menyelesaikan segala permasalahan yang menimpa pasien-pasiennya, tak terkecuali Ia.

“Mungkin saya terlalu ambisius. Saya selalu ingin cepat membantu mereka keluar dari masalahnya. Saya tahu, mereka hanya ingin didengar. Dan saya adalah pendengar yang baik.”

(Pasien, 2006: 26)

“Yang harus saya lakukan hanyalah bersikap menjadi pendengar, dan sekali-sekali, dengan cara tersamar, memberinya wejangan. Ia sama sekali tidak boleh sampai merasa dipojokkan. Ia harus merasa nyaman. Ia harus merasa mendapat dukungan.”

(Pasien, 2006: 27)

Pada akhir cerita, digambarkan bahwa tokoh Saya dan Ia pada dasarnya adalah satu orang. Ia yang seorang korban pemerkosaan tak lain adalah Saya yang ketika dewasa berprofesi sebagai psikiater yang mencoba menyelesaikan persoalan Ia. Saya menceritakan Ia dan segala permasalahannya kepada pembaca. Saya bercerita seakan-akan antara Saya dan Ia sedang duduk berhadap-hadapan, seorang sebagai pasien, dan seorang lagi sebagai dokter yang akan membantu memberi solusi atas permasalahan pelik yang menimpa pasien. Akan tetapi, di akhir cerita kemudian disebutkan bahwa Saya sedang bercermin. Dan bayangan yang ada di hadapannya, yang dianggap sebagai pasien atau tokoh Ia, tak lain adalah dirinya sendiri.

“Tiba-tiba terdengar suara sekretaris lewat intercom memecah hening yang kalut. Pasien saya sudah datang, katanya. Saya menarik nafas lega. Mengambil langkah seribu. Bergegas menuju pintu. Menyingkir dari cermin yang membisu.”

(Pasien, 2006: 31)

Dalam cerpen ini, pengarang mengisahkan seorang wanita sebagai korban pemerkosaan yang harus menanggung derita seumur hidup. Di sini, pengarang menggambarkan perempuan sebagai sosok yang lemah, sekaligus perempuan sebagai sosok yang tangguh. Lemah karena kejadian pemerkosaan telah membekas dalam jiwa dan merusak raganya. Namun kuat sebagai wanita yang sanggup menyongsong kehidupan baru tanpa bayang-bayang kejadian traumatis di masa lalu.

Feminisme yang disuguhkan pengarang dalam cerpen ini adalah penceritaan yang dikemas secara vulgar dan menonjolkan unsur seksualitas dalam balutan feminisme. Melalui cerpen ini dapat menunjukkan sekaligus memberikan wacana baru bahwa wanita (pengarang dan tokoh) merasa berhak atas eksploitasi seksual, libido, hasrat, atau bahkan hanya merupakan bentuk pelampiasan kekesalan, yang selama ini seolah hanya dimiliki oleh pria.

“Saya benci bau rokok di badannya. Saya benci bau alkohol yang ia sendawakan ke depan hidung saya. Saya benci aroma parfum laki-laki berganti-ganti melekat di sekujur tubuhnya. Sepertinya ia tak pernah mandi setiap kali selesai meniduri mereka.”

(Pasien, 2006: 28)

Dari kutipan di atas, tampak unsur feminisme pengarang sekaligus tokoh yang berusaha mengubah pandangan publik tentang paradigma bahwa selama ini hanya pria yang pantas untuk berganti-ganti pasangan. Namun di sini, melalui tokoh Ia, seorang wanita pun sanggup untuk berganti-ganti pasangan tanpa beban. Pantas pula untuk merokok dan turut menikmati tegukan alkohol. Ia menjadi subjek yang mengendalikan laki-laki melalui kebiasaannya yang suka berganti-ganti teman tidur sebagai bentuk pelampiasan amarah. Tampak dari kutipan berikut.

“Ia hanya butuh melampiaskan amarah. Ia hanya berusaha menghadapi ketakutannya pada tiap detail persetubuhan. Masuk ke titik traumanya. Mencoba menikmatinya dengan menindas mereka.”

(Pasien, 2006: 30)

Tokoh oleh pengarang juga digambarkan sebagai wanita yang tangguh. Mampu disejajarkan dengan laki-laki di berbagai forum. Serta kemampuan menulisnya yang tidak biasa dilakukan oleh perempuan pada umumnya. Sehingga pengarang secara tidak langsung menganalogikan bahwa seorang wanita yang pernah rusak baik fisik maupun mentalnya akibat kebiadaban lelaki, pun bisa maju dan berjalan lebih baik.

“Ia selalu terlihat dan dikenal sebagai perempuan kuat. Cara bicaranya yang lugas di depan berbagai forum, goresan kuasnya yang tidak biasa dilakukan oleh perempuan umum, sama sekali tidak mengesankan kalau ia lemah.”

(Pasien, 2006: 25)

“Kemarin, ia datang dan berbicara kepada saya dengan mantap. Ia mendapat tawaran sebagai pembicara sebuah forum bersama dengan si keparat pemerkosanya itu. Dan ia menerimanya. Ia akan menghadapinya. Ia akan berperang dengan cara yang anggun, katanya.”

(Pasien, 2006: 30)

Dari kutipan tersebut tampak bahwa tokoh adalah wanita yang kuat. Ia mau menerima tawaran sebagai pembicara di suatu forum bersama dengan lelaki yang telah memperkosanya. Hal tersebut merupakan sikap yang yang sangat bijaksana. Di mana, seorang musuh dihadapi tanpa kekerasan, melainkan menghadapinya secara dewasa.

Melalui cerpen ini, pengarang ingin mengungkapkan pendapatnya, segala apa yang menjadi keresahannya selama ini, dan juga wanita-wanita pada umumnya. Pengarang melalui tokoh Saya atau Ia mempertanyakan tentang paradigma yang berlaku di masyarakat. Korban pemerkosaan yang umumnya adalah perempuan, akan selamanya menjadi korban dan menjadi bulan-bulanan masyarakat. Korban perkosaan akan menderita seumur hidup melalui luka fisik dan batinnya yang akan selalu membekas. Namun mengapa sang pemerkosa yang notabenenya adalah seseorang yang bermoral bejat, serta pada umumnya pemerkosa adalah seorang laki-laki, dapat menikmati udara segar dengan nyaman (?). Tanpa perasaan bersalah, sang pemerkosa mendapat posisi yang layak di tengah masyarakat. Dari pernyataan berikut, ide feminis pun muncul.

“Kadang saya sulit bisa menerima bagaimana bisa manusia-manusia biadab seperti itu masih bisa menghirup udara segar kebebasan. Mendapat posisi layak di tengah masyarakat. Seperti makhluk yang selama ini menteror perempuan itu, bagaimana bisa ia dengan begitu tenang melenggang sementara korbannya terus menerus menjadi korban? Ia tak hanya satu kali menjadi korban. Namun berkali-kali. Reaksi dari kejadian traumatis itu telah membuatnya jadi bulan-bulanan masyarakat. Ia adalah korban seumur hidup.”

(Pasian, 2006: 30)

E. SIMPULAN

Melalui cerpen berjudul Pasien ini, dapat ditarik simpulan bahwa pengarang yaitu Djenar Maesa Ayu sebagai pengarang yang membangun feminitas yang diperankan oleh tokoh Saya. Pengarang ingin menyajikan suatu analogi bahwa wanita mempunyai hak atas kewanitaannya, untuk mengeksploitasi diri, berahi, dan seksualitasnya sesuai dengan apa yang diinginkannya. Wanita tidak perlu merasa enggan akan superioritas pria, yang sebenarnya wanita pun bisa membaliknya bila wanita mampu menemukan subjektivitas dirinya.

DAFTAR PUSTAKA

Ayu, Djenar Maesa

2006 Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek: Pasien. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kurniawan, Eva Dwi

2006 Seks, Kepasrahan, dan Kematian dalam Kumpulan Cerpen Mahasiswa. Makalah yang disampaikan pada acara bedah cerpen dalam rangka peringatan satu tahun Sanggar Interlute. Surabaya.

Ratna, Nyoman Kutha

2004 Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: Dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Widayati, Hanim

2004 Citra Wanita dalam Kumpulan Cerpen Tak Ada Tempat Bagi Perempuan di Surga. Skripsi Tidak Diterbitkan. Surabaya. Universitas Negeri Surabaya.