Rabu, 23 April 2008

"TEST PACK"???

Dekonstruksi pada Novel Test Pack karya Ninit Yunita

Mengenai Komitmen dalam Pandangan Masyarakat

A. Pendahuluan

Dekonstruksi merupakan suatu kajian yang kontroversial, terutama bagi masyarakat dunia yang tidak beridealisme komunis. Padahal kajian ini sangat berpengaruh pada segi humaniora terutama pada kajian sastra. Dekonstruksi ialah pengembangan dari observasi yang dilakukan oleh Ferdinand de Saussure tentang hubungan antara penanda dan petanda (kata dan makna) yang bersifat arbitrer (Derrida dalam Sim, 2002: 59). Derrida kemudian menyusun puing-puing yang tertinggal dari bangunan teks, menghancurkannya kembali, menatanya lalu merombaknya kembali (Derrida dalam Al-Fayadl, 2005: 79). Pendapat dari Derrida tersebut memiliki arti bahwa dekonstruksi bukan hanya suatu hal yang hanya menghancurkan sesuatu seperti yang selama ini kita maknai tentang dekonstruksi, akan tetapi dekonstruksi juga berupaya untuk menata kembali apa yang telah dihancurkan.

Derrida dalam Ratna (2004: 222) mengemukakan bahwa teori dekonstruksi adalah penolakan terhadap logosentrisme dan fonosentrisme yang secara keseluruhan melahirkan oposisi biner dan cara-cara berpikir lainnya yang bersifat hierarkis dikotomis. Dekonstruksi merupakan pengurangan atau penurunan intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang baku. Dengan kata lain, dekonstruksi adalah cara-cara pengurangan terhadap suatu intensitas konstruksi, yaitu gagasan, bangunan, dan susunan yang sudah baku, bahkan universal.

Argus (2002) mengemukakan dekonstruksi merupakan suatu metode analisis yang dikembangkan oleh Jacques Derrida dengan membongkar struktur dan kode-kode bahasa, khususnya struktur oposisi pasangan, sedemikian rupa, sehingga menciptakan satu permainan tanda tanpa akhir dan tanpa makna akhir.

Sasaran dari dekonstruksi ialah mempertimbangkan sejauh mana seorang pengarang mempergunakan pola-pola bahasa dan pemikiran untuk memberi bentuk kepada suatu visi tertentu (Luxemburg, 1986: 60).

Dekonstruksi adalah sebuah upaya saksama untuk menganalisis teks dengan mencoba mengungkapkan berbagai kemungkinan yang sebetulnya terkandung di dalamnya, termasuk yang tertindas atau terselubung, baik sengaja, sadar, atau tidak, dengan cara membongkarnya. Hal ini dilakukan dengan analisa tekstual yang ketat, menjajaki dan mencoba menemukan berbagai kandungan lanjut maknanya, termasuk beragam makna alternatif yang mungkin bisa dimunculkan darinya.

Sasaran dekonstruksi lebih lanjut adalah pada kecenderungan berpikir dalam model oposisi biner, seperti hidup atau mati, ada atau tiada, siang atau malam, laki-laki atau perempuan, dan seterusnya. Sesungguhnya, cara berpikir ini juga masih berkaitan, dan bahkan mendasari phallogosentrisme maupun metafisika, karena menuding pada rasional atau tak rasional, dan di pusat atau di luar pusat. Dalam hal ini, Derrida memprovokasi bagaimana seandainya dualisme ini sebenarnya sungguh tak mewakili realitas permasalahan, dan hanya sebuah tradisi panjang pemaksaan rasionalitas terhadap sejarah pemaknaan dan peradaban belaka.

Dekonstruksi dilakukan dengan cara memberikan perhatian terhadap gejala-gejala yang tersembunyi, sengaja disembunyikan, seperti ketidakbenaran, tokoh sampingan, perempuan, dst. Berbeda dengan teori strukturalisme, dalam analisis penokohan misalnya, strukturalisme selalu membicarakan tokoh utama, kesua, ketiga, dst. Dengan konsekuensi tokoh terakhir hanya berfungsi sama sekali. Dalam kritik sastra, yang penting bukan siapa yang berbicara, melainkan apa yang dibicarakan, yaitu karya itu sendiri.

B. Analisis Novel Test Pack karya Ninit Yunita

Dalam novel ini, pengarang yaitu Ninit Yunita ingin mengubah pandangan masyarakat yang umumnya mengutamakan kehadiran seorang anak dalam setiap pernikahan. Selama ini, setiap pasangan menikah karena menginginkan anak dari pernikahan mereka. Seakan-akan memiliki anak pasca pernikahan merupakan hal utama yang didamba-dambakan setiap pasangan suami-istri, dan anak seakan-akan merupakan bukti cinta atau buah cinta dari sang suami dan istri. Namun Ninit Yunita melalui novel Test Packnya ini ingin mengubah pandangan masyarakat mengenai hal tersebut.

Dalam novel Test Pack, melalui tokoh Arista Natadiningrat atau Tata dan Rahmat Natadiningrat, sang pengarang ingin mengubah pandangan masyarakat mengenai tujuan utama dalam pernikahan, serta betapa pentingnya komitmen dalam sebuah hubungan. Tidak semua manusia memiliki kemampuan yang sempurna untuk menghasilkan anak atau meneruskan keturunan setelah menikah. Tidak semua pasangan bisa mempunyai anak setelah mereka menikah. Hal tersebut bisa dikarenakan kesalahan mereka sendiri yang kurang menjaga kesehatan, atau mungkin karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dibandingkan makhluk-makhluk Allah yang lain, namun tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Sehingga tak sedikit pula pasangan yang belum juga dikaruniai anak setelah mereka menikah, bahkan setelah bertahun-tahun menikah.

Ninit Yunita dalam novelnya menceritakan tokoh Tata dan Rahmat sebagai suami istri yang telah 7 tahun menikah namun belum juga dikaruniai seorang anak. Hal tersebut terbukti melalui pernyataan Rahmat sebagai berikut.

Kami sudah menikah selama 7 tahun dan selama itu lah gue dan Tata melakukan intensifikasi penyerbukan. Berbagai cara sudah kami coba. Mulai dari mengonsumsi toge yang tidak wajar sampai bercinta berdasarkan shio. Namun sampai saat ini kami belum memperoleh anak. (Yunita, 2005: 19)

Kehadiran seorang anak memang selalu didambakan setiap pasangan setelah menikah, namun tidak semua pasangan diciptakan sempurna dan mampu memiliki anak, seperti pasangan Tata dan Rahmat. Segala cara telah mereka lakukan, terutama Tata yang sangat mendambakan anak setelah usianya menginjak 30 tahun.

Melalui tokoh Tata, Ninit mengungkapkan pendapatnya bahwa anak bukan hal utama dalam pernikahan. Pandangan masyarakat yang berkembang saat ini, ketika bertemu dengan teman lama atau kenalan lama, hal pertama yang sering ditanyakan adalah jumlah anak dipunyai saat ini, tampak dari percakapan berikut.

“Diaaan … hey, udah punya anak berapa sekarang?”

“Baru satu, Ris.”

“Belum nambah nih?” Perempuan cantik yang bernama Riska itu mencium pipi kanan dan kiri Dian.

(Yunita, 2005: 27)

“Anakmu sudah berapa, Ta?”

Tiba-tiba Riska mengarahkan pertanyaan yang super sensitif itu ke gua. Lutut gua lengsung terasa lemas. Nooo… kenapa sih harus pertanyaan itu?

“Belum punya, Ris …” Gua menggeleng pelan.

(Yunita, 2005: 28)

Di atas merupakan percakapan yang dilakukan Tata, Dian sahabat Tata, dan Riska sahabat Dian yang sudah lama tidak bertemu saat mengobrol santai. Dari percakapan tersebut tampak kesedihan dalam hati Tata, mengapa pertanyaan itu yang sering dilontarkan orang-orang saat pertama kali bertemu dengan teman lama. Padahal tidak semua manusia yang beruntung dapat memiliki anak setelah menikah, sama halnya seperti Tata yang belum juga punya anak. Kekecewaan Tata terungkap pula melalui pernyataannya berikut.

“Anakmu sudah berapa?”

Ya … itu pertanyaan pertama yang keluar dari mulut Riska.

Bukan apa kabar.

Bukan berapa gelar yang berjajar di belakang namanya.

Or if she collects diamond or not.

Or if the bag is the real Prada or the fake one.

(Yunita, 2005: 30)

She didn’t ask me anything else but,

“Anakmu sudah berapa, Ta?”

(Yunita, 2005: 30)

Pertanyaan yang sama juga dilontarkan oleh Sinta Setiorini mantan pacar Rahmat kepada Rahmat, saat mereka bertemu di kantor Rahmat.

“Anak udah berapa, Mat?”

“Belum ada.”

“Serius?”

“Iya.”

(Yunita, 2005: 72)

Diceritakan dalam novel ini bahwa Tata dan Rahmat belum juga dikaruniai anak karena Rahmat infertil, sehingga secara biologis mereka berdua tidak akan bisa dikaruniai anak. Namun di akhir cerita dikisahkan bahwa komitmen dalam sebuah pernikahan adalah yang lebih penting. Banyak dicontohkan pasangan sempurna yang telah dikaruniai anak, tidak dapat menjaga cinta mereka dan belum berkomitmen bahwa dalam pernikahan sebuah pengertian dan kesetiaan adalah yang lebih penting, bukan semata-mata karena kehadiran anak. Sehingga banyak pernikahan yang ternoda walaupun anak telah menjadi buah cinta mereka.

Di sini, Tata dan Rahmat dikisahkan sebagai pasangan yang mampu dijadikan contoh. Tidak selamanya pasangan kita akan terus sama seperti yang kita harapkan, karena mereka juga manusia yang pasti memiliki kekurangan. Tidak selamanya pasangan kita akan terus cantik atau tampan, tetap terlihat muda sampai kapan pun, akan tetap pandai, tetap kaya, tetap baik, tetap mencintai kita. Namun komitmen telah membawa Tata dan Rahmat menjadi pasangan yang mampu mengatasi permasalahan pelik yang menimpa mereka berdua, yaitu bahwa secara biologis mereka tidak akan dikaruniai anak. Komitmen menjadi kekuatan yang akan terus mampu mempertahankan apa yang telah menjadi harapan mereka. Berikut kutipan pernyataan pendukung oleh tokoh Tata.

Orang sering mendasari cinta atas hal-hal yang dianggap indah.

Jarang dari mereka (dan mungkin kita sendiri) berpikir :

‘I love him because of the way he makes me feel’.

Then what happens if he stops making you feel that way?

….

Jarang ada yang mengatakan:

‘Saya sayang dia karena saya ingin sayang dia.’

Itulah komitmen. Komitmen adalah sumber kekuatan bukan sesuatu yang justru membuat orang takut untuk menghadapinya.

Komitmen adalah sumber kekuatan bagi seorang istri untuk pergi jauh melihat baik dan buruknya suami. Menerima dia ketika sedang tampan dan menerima juga manakala dia sedang menguap dengan jeleknya saat bangun pagi.

Komitmen adalah sumber kekuatan bagi seorang suami ketika mengetahui seorang wanita lain mengajaknya berselingkuh dan ia memilih pulang ke rumah untuk makan malam dengan istri dan berbagi kisah sambil tertawa.

(Yunita, 2005: 222-224)

Komitmen telah menjadi kekuatan cinta mereka. Dan melalui novel ini, Ninit Yunita ingin mengubah paradigma masyarakat bahwa dalam sebuah cinta khususnya pernikahan perlu didasari adanya komitmen yang nantinya akan mampu menjaga perjalanan cinta mereka. Sebab pernikahan tidak selalu indah seperti yang dibayangkan, sehingga komitmen diperlukan untuk menjaga sebuah pernikahan agar selalu terasa indah.

Dan komitmen juga yang membawa gua untuk tetap berada di sisi Kakang. Tetap menjadi istrinya dengan menyadari bahwa pernikahan bukan hanya untuk memiliki anak. Pasangan lain mungkin dikaruniai sesuatu yang sempurna dengan memiliki anak. But in fact, tanpa memiliki anak tidak menghalangi gua untuk bahagia bersama Kakang.

(Yunita, 2005: 224)

Ninit Yunita dalam novel Test Pack mengungkapkan isi hatinya bahwa cinta saja tanpa dilandasi komitmen tidak akan berkekuatan. Sebab cinta manusia tidak akan kekal, banyak sekali faktor yang melandasi seseorang merasakan cinta. Pandangan masyarakat tersebut ingin diubah oleh Ninit melalui novel ini, yang dikisahkan oleh Tata dan Rahmat. Pentingnya komitmen dalam sebuah hubungan akan mampu menjaga keutuhan cinta, dengan saling menghargai satu sama lain, serta saling menerima kekurangan masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta : LKiS.

Argus, Firmansyah. 2002. Dekonstruksi Spiritualisme. Jakarta : Jala Sutra.

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta : Gramedia.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme Hingga Postrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sim, Stuart. 2002. Derrida dan Akhir Sejarah, penerjemah Sigit Djatmiko. Yogyakarta : Penerbit Jendela.

Tidak ada komentar: